Rabu, 04 Februari 2015

Pengaruh kebudayan kolonial belanda pada arsitektur di indonesia

PENGARUH KEBUDAYAAN KOLONIAL BELANDA PADA ARSITEKTUR DI INDONESIA 

Gaya arsitektur kolonial di Indonesia seolah lekat dengan perjalanan panjang negeri ini dalam bingkai pembangunan menuju  kemerdekaan. Bangunan-bangunan bergaya colonial banyak tersebar diberbagai kota di tanah air. Sebagai negara bekas jajahan bangsa Eropa dan Asia seperti Belanda dan Portugis serta Jepang, pengaruh gaya  arsitektur dari negeri Belanda, Portugis serta Jepang, cukup besar terhadap perkembangan arsitektur di Indonesia. Bahkan tak jarang terjadi perpaduan diantara gaya Eropa dengan arsitektur tradisional Indonesia.

TIPOLOGI BARU
            Arsitektur kolonial merupakan sebutan singkat untuk langgam arsitektur yang berkembang selama masa pendudukan Belanda di tanah air. Masuknya unsur Eropa ke dalam komposisi kependudukan menambah kekayaan ragam arsitektur di nusantara. Seiring berkembangnya peran dan kuasa, kamp-kamp Eropa semakin dominan dan permanen hingga akhirnya berhasil berekspansi dan mendatangkan tipologi baru. Semangat modernisasi dan globalisasi (khususnya pada abad ke-18 dan ke-19) memperkenalkan bangunan modern seperti administrasi pemerintah kolonial, rumah sakit atau fasilitas militer. Bangunan-bangunan inilah yang disebut dan dikenal dengan bangunan kolonial.
            Sejarah mencatat bahwa Perkembangan Arsitektur Kolonial di Indonesia diawali oleh bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Indonesia yakni Portugis, yang kemudian diikuti oleh Spanyol, Inggris dan Belanda. Pada mulanya kedatangan mereka dengan maksud berdagang. Mereka membangun rumah dan pemukimannya di beberapa kota di Indonesia yang biasanya terletak dekat dengan pelabuhan. Dinding rumah mereka terbuat dari kayu dan papan dengan penutup atap ijuk. Namun karena sering terjadi konflik mulailah dibangun benteng. Hampir di setiap kota besar di Indonesia. Dalam benteng tersebut, mulailah bangsa Eropa membangun beberapa bangunan dari bahan batu bata. Batu bata dan para tukang didatangkan dari negara Eropa. Mereka membangun banyak rumah, gereja dan bangunan-bangunan umum lainnya dengan bentuk tata kota dan arsitektur yang sama persis dengan negara asal mereka.
 
KOLONIAL & NEO KLASIK
            Pada saat itu, di Hindia Belanda terbentuk gaya arsitektur tersendiri yang dipelopori oleh Gubernur Jenderal HW yang dikenal dengan the Empire Style, atau The Ducth Colonial Villa: Gaya arsitektur neo-klasik yang melanda Eropa (terutama Prancis) yang diterjemahkan secara bebas. Hasilnya berbentuk gaya Hindia Belanda yang bercitra Kolonial yang disesuaikan dengan lingkungan lokal, iklim dan material yang tersedia pada masa itu.
            Bangunan-bangunan yang berkesan grandeur (megah) dengan gaya arsitektur Neo Klasik dikenal dengan Indische Architecture, karakter arsitektur ini dapat dilihat seperti : Denah simetris dengan satu lantai, terbuka, pilar di serambi depan dan belakang (ruang makan) dan didalamnya terdapat serambi tengah yang menuju ke ruang tidur dan kamar-kamar lainnya. Pilar menjulang ke atas (gaya Yunani) dan terdapat gevel atau mahkota di atas serambi depan dan belakang dan menggunakan atap perisai.
            Pada tahun 1902 sampai tahun 1920-an, secara umum, ciri dan karakter arsitektur kolonial di Indonesia pada tahun 1900-1920-an yaitu menggunakan Gevel (gable) pada tampak depan bangunan. Bentuk gable sangat bervariasi seperti curvilinear gable, stepped gable, gambrel gable, pediment (dengan entablure).  Serta penggunaan Tower pada bangunan Pengunaan tower pada mulanya digunakan pada bangunan gereja kemudian diambil alih oleh bangunan umum dan menjadi mode pada arsitektur kolonial Belanda pada abad ke 20. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari yang bulat, segiempat dan ada yang dikombinasikan dengan gevel depan. Serta penggunaaan Dormer pada bangunan. Penyesuaian bangunan terhadap iklim tropis basah  seperti pemilihan bentuk ventilasi yang lebar dan tinggi, sebagai antisipasi dari hujan dan sinar matahari.
KOMBINASI ARSITEKTUR
            Tahun 1920 sampai tahun 1940-an Gerakan pembaharuan dalam arsitektur baik di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini mempengaruhi arsitektur kolonial Belanda di Indonesia.
Pada awal abad 20, arsitek-arsitek yang baru datang dari negeri Belanda memunculkan pendekatan untuk rancangan arsitektur di Hindia Belanda. Aliran baru ini, semula masih memegang unsur-unsur mendasar bentuk klasik, memasukkan unsur-unsur yang terutama dirancang untuk mengantisipasi matahari,  hujan lebat dan iklim tropis.
            Selain unsur-unsur arsitektur tropis, juga memasukkan unsur-unsur arsitektur tradisional (asli) Indonesia sehingga menjadi konsep yang eklektis. Konsep ini nampak pada karya Maclaine Pont seperti kampus Technische Hogeschool (ITB), Gereja Poh sarang di Kediri. Hal ini menjadi bukti telah terjadi kombinasi gaya-gaya arsitektur dalam perjalanan perjalanan rancang bangun di Indonesia, antara arsitektur kolonial dengan arsitektur lokal, baik yang berasa dari pulau Sumatera, Jawa,  Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Ambon dan Papua serta kota-kota lainnya.  Hasil perpaduan dari gaya arsitektur tersebut hingga saat ini masih dapat dinikmati sebagai obyek budaya dan pendidikan sekaligus bukti sejarah perkembangan bangsa.
           
PERIODISASI PERKEMBANGAN ARSITEKTUR KOLONIAL BELANDA
            Karakteristik Arsitektur Kolonial Belanda dapat dilihat dari segi periodisasi perkembangan arsitekturnya serta dapat pula ditinjau dari berbagai elemen ornamen yang digunakan bangunan kolonial tersebut. Periodisasi Arsitektur Kolonial Belanda
Helen Jessup dalam Handinoto (1996: 129-130) membagi periodisasi perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia dari abad ke 16 sampai tahun 1940-an menjadi empat bagian, yaitu:
1.        Abad 16 sampai tahun 1800-an
            Pada waktu ini Indonesia masih disebut sebagai Nederland Indische (Hindia Belanda) di bawah kekuasaan perusahaan dagang Belanda yang bernama VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Selama periode ini arsitektur kolonial Belanda kehilangan orientasinya pada bangunan tradisional di Belanda serta tidak mempunyai suatu orientasi bentuk yang jelas. Yang lebih buruk lagi, bangunan-bangunan tersebut tidak diusahakan untuk beradaptasi dengan iklim dan lingkungan setempat.
2.        Tahun 1800-an sampai tahun 1902
            Ketika itu, pemerintah Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari perusahaan dagang VOC. Setelah pemerintahan Inggris yang singkat pada tahun 1811-1815. Hindia Belanda kemudian sepenuhnya dikuasai oleh Belanda. Indonesia waktu itu diperintah dengan tujuan untuk memperkuat kedudukan ekonomi negeri Belanda. Oleh sebab itu, Belanda pada abad ke-19 harus memperkuat statusnya sebagai kaum kolonialis dengan membangun gedung-gedung yang berkesan grandeur (megah). Bangunan gedung dengan gaya megah ini dipinjam dari gaya arsitektur neo-klasik yang sebenarnya berlainan dengan gaya arsitektur nasional Belanda waktu itu.
3.        Tahun 1902-1920-an
            Antara tahun 1902 kaum liberal di negeri Belanda mendesak apa yang dinamakan politik etis untuk diterapkan di tanah jajahan. Sejak itu, pemukiman orang Belanda tumbuh dengan cepat. Dengan adanya suasana tersebut, maka “indische architectuur” menjadi terdesak dan hilang. Sebagai gantinya, muncul standar arsitektur yang berorientasi ke Belanda. Pada 20 tahun pertama inilah terlihat gaya arsitektur modern yang berorientasi ke negeri Belanda.
4.        Tahun 1920 sampai tahun 1940-an
            Pada tahun ini muncul gerakan pembaruan dalam arsitektur, baik nasional maupun internasional di Belanda yang kemudian memengaruhi arsitektur kolonial di Indonesia. Hanya saja arsitektur baru tersebut kadang-kadang diikuti secara langsung, tetapi kadang-kadang juga muncul gaya yang disebut sebagai ekletisisme (gaya campuran). Pada masa tersebut muncul arsitek Belanda yang memandang perlu untuk memberi ciri khas pada arsitektur Hindia Belanda. Mereka ini menggunakan kebudayaan arsitektur tradisional Indonesia sebagai sumber pengembangannya.
 

 .

 
     Gambar 2.1 Arsitektur Kolonial
            Hampir serupa dengan Helen Jessup, Handinoto (1996: 130-131) membagi periodisasi arsitektur kolonial di Surabaya ke dalam tiga periode, yaitu:
  1) perkembangan arsitektur antara tahun 1870-1900;
  2) perkembangan arsitektur sesudah tahun 1900;
  3) perkembangan arsitektur setelah tahun 1920.
Perkembangan arsitektur kolonial Belanda tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Perkembangan Arsitektur Antara Tahun 1870-1900
            Akibat kehidupan di Jawa yang berbeda dengan cara hidup masyarakat Belanda di negeri Belanda maka di Hindia Belanda (Indonesia) kemudian terbentuk gaya arsitektur tersendiri. Gaya tersebut sebenarnya dipelopori oleh Gubernur Jenderal HW. Daendels yang datang ke Hindia Belanda (1808-1811). Daendels adalah seorang mantan jenderal angkatan darat Napoleon, sehingga gaya arsitektur yang didirikan Daendels memiliki ciri khas gaya Perancis, terlepas dari kebudayaan induknya, yakni Belanda.
            Gaya arsitektur Hindia Belanda abad ke-19 yang dipopulerkan Daendels tersebut kemudian dikenal dengan sebutan The Empire Style. Gaya ini oleh Handinoto juga dapat disebut sebagai The Dutch Colonial. Gaya arsitektur The Empire Style adalah suatu gaya arsitektur neo-klasik yang melanda Eropa (terutama Prancis, bukan Belanda) yang diterjemahkan secara bebas. Hasilnya berbentuk gaya Hindia Belanda (Indonesia) yang bergaya kolonial, yang disesuaikan dengan lingkungan lokal dengan iklim dan tersedianya material pada waktu itu (Akihary dalam Handinoto, 1996: 132). Ciri-cirinya antara lain: denah yang simetris, satu lantai dan ditutup dengan atap perisai. Karakteristik lain dari gaya ini diantaranya: terbuka, terdapat pilar di serambi depan dan belakang, terdapat serambi tengah yang menuju ke ruang tidur dan kamar-kamar lain. Ciri khas dari gaya arsitektur ini yaitu adanya barisan pilar atau kolom (bergaya Yunani) yang menjulang ke atas serta terdapat gevel dan mahkota di atas serambi depan dan belakang. Serambi belakang seringkali digunakan sebagai ruang makan dan pada bagian belakangnya dihubungkan dengan daerah servis (Handinoto, 1996: 132-133).
2.      Perkembangan Arsitektur Sesudah Tahun 1900
            Handinoto (1996: 163) menyebutkan bahwa, bentuk arsitektur kolonial Belanda di Indonesia sesudah tahun 1900 merupakan bentuk yang spesifik. Bentuk tersebut merupakan hasil kompromi dari arsitektur modern yang berkembang di Belanda pada waktu yang bersamaan dengan penyesuaian iklim tropis basah Indonesia. Ada juga beberapa bangunan arsitektur kolonial Belanda yang mengambil elemen-elemen tradisional setempat yang kemudian diterapkan ke dalam bentuk arsitekturnya. Hasil keseluruhan dari arsitektur kolonial Belanda di Indonesia tersebut adalah suatu bentuk khas yang berlainan dengan arsitektur modern yang ada di Belanda sendiri.
            Handinoto (1996: 151-163) juga menguraikan bahwa, kebangkitan arsitektur Belanda sebenarnya dimulai dari seorang arsitek Neo-Gothik, PJH. Cuypers (1827-1921) yang kemudian disusul oleh para arsitek dari aliran Niuwe Kunst (Art Nouveau gaya Belanda) HP. Berlage (185-1934) dan rekan-rekannya seperti Willem Kromhout (1864-1940), KPC. De Bazel (1869-1928), JLM. Lauweriks (1864-1932), dan Edward Cuypers (1859-1927). Gerakan Nieuw Kunst yang dirintis oleh Berlage di Belanda ini kemudian melahirkan dua aliran arsitektur modern yaitu The Amsterdam School serta aliran De Stijl. Adapun penjelasan mengenai arsitektur Art Nouveau, The Amsterdam School dan De Stijl dapat dijabarkan sebagai berikut:
a.       Art Nouveau
                 Art Nouveau adalah gerakan internasional dan gaya seni arsitektur dan diterapkan terutama pada seni-seni dekoratif yang memuncak pada popularitas di pergantian abad 20 (1890-1905). Nama Art Nouveau adalah bahasa Perancis untuk ‘seni baru’. Gaya ini ditandai dengan bentuk organik, khususnya yang diilhami motif-motif bunga dan tanaman lain, dan juga sangat bergaya bentuk-bentuk lengkung yang mengalir. Gaya Art Nouveau dan pendekatannya telah diterapkan dalam hal arsitektur, melukis, furnitur, gelas, desain grafis, perhiasan, tembikar, logam, dan tekstil dan patung. Hal ini sejalan dengan filosofi Art Nouveau bahwa seni harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. (sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Art_Nouveau).
b.      The Amsterdam School
                 Arsitektur Amsterdam School, yang pada awalnya berkembang disekitar Amsterdam, berakar pada sebuah aliran yang dinamakan sebagai Nieuwe Kunst di Belanda. Nieuwe Kunst adalah versi Belanda dari aliran “Art Nouveau” yang masuk ke Belanda pada peralihan abad 19 ke 20, (1892-1904). Agak berbeda dengan ‘Art Nouveau‘, didalam dunia desain “Nieuwe Kunst” yang berkembang di Belanda, berpegang pada dua hal yang pokok, pertama adalah ‘orisinalitas’ dan kedua adalah ‘spritualitas’, disamping rasionalitas yang membantu dalam validitas universal dari bentuk yang diciptakan (de Wit dalam Handinoto, e-journal ilmiah Petra Surabaya).
                 Aliran Amsterdam Shool menafsirkan ‘orisinalitas’ ini sebagai sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap perancang, sehingga setiap desain yang dihasilkan, harus merupakan ekspresi pribadi perancangnya. Sedangkan ‘spritualitas’ ditafsirkan sebagai metode penciptaan yang didasarkan atas penalaran yang bisa menghasilkan karya-karya seni (termasuk arsitektur), dengan memakai bahan dasar yang berasal dari alam (bata, kayu, batu alam, tanah liat, dsb.nya). Bahan-bahan alam tersebut dipasang dengan ketrampilan tangan yang tinggi sehingga memungkinkan dibuatnya bermacam-macam ornamentasi yang indah. Tapi semuanya ini harus tetap memperhatikan fungsi utamanya.
                 Pada tahun 1915, ‘Nieuwe Kunst’ ini kemudian terpecah menjadi dua aliran. Pertama yaitu aliran Amsterdam School dan yang kedua adalah De Stijl. Meskipun berasal dari sumber yang sama dan mempunyai panutan yang sama (H.P. Berlage), tapi ternyata kedua aliran arsitektur ini mempunyai perbedaan. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan bahwa Amsterdam School tidak pernah menerima mesin sebagai alat penggandaan hasil karya-karyanya. Hal ini berbeda dengan De Stijl, yang menganggap hasil karya dengan gaya tersebut sebagai nilai estetika publik atau estetika universal, dan bisa menerima mesin sebagai alat pengganda karya-karyanya.
                 Pengertian lain mengenai Amsterdam School (Belanda: Amsterdamse School) adalah gaya arsitektur yang muncul dari 1910 sampai sekitar 1930 di Belanda. Gaya ini ditandai oleh konstruksi batu bata dan batu dengan penampilan bulat atau organik, massa relatif tradisional, dan integrasi dari skema yang rumit pada elemen bangunan luar dan dalam: batu dekoratif, seni kaca, besi tempa, menara atau “tangga” jendela (dengan horizontal bar), dan diintegrasikan dengan sculpture arsitektural. Tujuannya adalah untuk menciptakan pengalaman total arsitektur, interior dan eksterior. (sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Amsterdam_School) Di samping karakteristik diatas, ciri-ciri lain dari aliran Amsterdam School oleh Handinoto (dalam e-journal ilmiah Petra Surabaya), antara lain :
1)      Bagi Amsterdam School, karya orisinalitas merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap perancang, sehingga setiap desain yang dihasilkan, harus merupakan ekspresi pribadi perancangnya. Nilai estetika dari karya-karya aliran Amsterdam School bukan bersifat publik atau estetika universal. Itulah sebabnya Amsterdam School tidak pernah menerima mesin sebagai alat penggandaan hasil karyanya.
2)      Bagi Amsterdam School mengekspresikan ide dari suatu gagasan lebih penting dibanding suatu studi rasional atas kebutuhan perumahan ke arah pengembangan baru dari jenis denah lantai dasar suatu bangunan.
3)      Arsitek dan desainer dari aliran Amsterdam School melihat bangunan sebagai “total work of art”, mereka melihat bahwa desain interior harus mendapat perhatian yang sama sebagai gagasan yang terpadu dalam arsitektur itu sendiri, dan hal tersebut sama sekali bukan merupakan hasil kerja atau produk mekanis. Pada saat yang sama, mereka berusaha untuk memadukan tampak luar dan bagian dalam (interior) bangunan menjadi suatu kesatuan yang utuh.
4)      Bangunan dari aliran Amsterdam School biasanya dibuat dari susunan bata yang dikerjakan dengan keahlian tangan yang tinggi dan bentuknya sangat plastis; ornamen skulptural dan diferensiasi warna dari bahan-bahan asli (bata, batu alam, kayu) memainkan peran penting dalam desainnya.
5)      Walaupun arsitek aliran Amsterdam School sering bekerja sama dengan pemahat dan ahli kerajinan tangan lainnya, mereka menganggap arsitektur sebagai unsur yang paling utama dan oleh karenanya harus sanggup mendikte semua seni yang lain.
(Sumber:http://fportfolio.petra.ac.id/ e-jurnal ilmiah Petra Surabaya).
c.       Gaya Arsitektur De Stijl
                 Gaya De Stijl dikenal sebagai neoplasticism, adalah gerakan artistik Belanda yang didirikan pada 1917. Dalam hal ini, neoplasticism sendiri dapat diartikan sebagai seni plastik baru. Pendukung De Stijl berusaha untuk mengekspresikan utopia baru ideal dari keharmonisan spiritual dan ketertiban. Mereka menganjurkan abstraksi murni dan universalitas dengan pengurangan sampai ke inti bentuk dan warna; mereka menyederhanakan komposisi visual ke arah vertikal dan horisontal, dan hanya digunakan warna-warna primer bersamaan dengan warna hitam dan putih.
                 Secara umum, De Stijl mengusulkan kesederhanaan dan abstraksi pokok, baik dalam arsitektur dan lukisan dengan hanya menggunakan garis lurus horisontal dan vertikal dan bentuk-bentuk persegi panjang. Selanjutnya, dari segi warna adalah terbatas pada warna utama, merah, kuning, dan biru, dan tiga nilai utama, hitam, putih, dan abu-abu. Gaya ini menghindari keseimbangan simetri dan mencapai keseimbangan estetis dengan menggunakan oposisi. (sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/De_Stijl)
3.        Perkembangan Arsitektur Setelah Tahun 1920
            Akihary (dalam Handinoto, 1996: 237-238) menggunakan istilah gaya bangunan sesudah tahun 1920-an dengan nama Niuwe Bouwen yang merupakan penganut dari aliran International Style. Seperti halnya arsitektur barat lain yang diimpor, maka penerapannya disini selalu disesuaikan dengan iklim serta tingkat teknologi setempat. Wujud umum dari dari penampilan arsitektur Niuwe Bouwen ini menurut formalnya berwarna putih, atap datar, menggunakan gevel horizontal dan volume bangunan yang berbentuk kubus.
            Gaya ini (Niuwe Bouwen/ New Building) adalah sebuah istilah untuk beberapa arsitektur internasional dan perencanaan inovasi radikal dari periode 1915 hingga sekitar tahun 1960. Gaya ini dianggap sebagai pelopor dari International Style. Istilah “Nieuwe Bouwen” ini diciptakan pada tahun dua puluhan dan digunakan untuk arsitektur modern pada periode ini di Jerman, Belanda dan Perancis. Arsitek Nieuwe Bouwen nasional dan regional menolak tradisi dan pamer dan penampilan. Dia ingin yang baru, bersih, berdasarkan bahasa desain sederhana, dan tanpa hiasan. Karakteristik Nieuwe Bouwen meliputi:
a.       Transparansi, ruang, cahaya dan udara. Hal ini dicapai melalui penggunaan bahan-bahan modern dan metode konstruksi.
b.      Simetris dan pengulangan yaitu keseimbangan antara bagian-bagian yang tidak setara.
c.       Penggunaan warna bukan sebagai hiasan namun sebagai sarana ekspresi.
               
 
 
 
 
(blog.juned.maroz)
ABSTRAK Tulisan ini merupakan kajian mengenai perubahan arsitektur sebagai bagian dari perubahan kebudayaan pada masyarakat tertentu dengan mengambil kasus Rumah Tradisional di Kota Lama Kudus. Arsitektur sebagai artefak kebudayaan berperan penting dalam memberikan ciri kebudayaan setempat, namun ketika kebudayaan masyarakat kemudian berkembang, apakah artefaknya juga akan mengikuti perkembangan tersebut?. Tulisan ini membahas tentang kebudayaan, kaitannya dengan arsitektur dan bagaimana perubahannya pada masyarakat pesisir Jawa, khususnya Kudus. Kebudayaan merupakan keseluruhan gagasan, karya serta hasil karya manusia yang dicapai melalui ‘belajar’. Kebudayaan juga merupakan hasil adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Sebagai hasil belajar dan beradaptasi, kebudayaan akan terus berubah mengikuti perkembangan jaman. Dari nilai-nilai kebudayaan yang berkembang tersebut terdapat unsur-unsur yang yang berkembang secara cepat, adapula yang berkembang secara lambat, menjadi tradisi. Kebudayaan tradisional meskipun berkembang namun tetap mempertahankan karakter intinya yang diturunkan antar generasi. Kebudayaan yang mentradisi menjadi karakter kuat suatu masyarakat pada tempat tertentu, salah satunya akan terlihat pada artefaknya, arsitektur tradisional. Kebudayaan masyarakat Kudus merupakan bagian dari kebudayaan pesisiran Jawa. Satu ragam kebudayaan Jawa yang berkembang di kota-kota perdagangan di pantai utara Jawa. Kudus dikenal sebagai masyarakat pedagang santri. Perkembangan kebudayaan masyarakat Kudus dari sejarah berdirinya sampai saat ini sangat dinamis dan menarik dipelajari. Sebagaimana kebudayaannya yang khas, bentukan arsitektur permukiman masyarakat Kudus menunjukkan ciri yang kuat, baik pada tata lingkungan permukiman, kelompok rumah sampai pada elemen bangungan rumah tinggalnya. Ciri yang kuat pada arsitektur tradisional rumah tinggal masyarakat Kudus tak pelak mencerminkan Kebudayaannya yang khas pula. Dengan merujuk pada data sejarah kota Kudus dan mencermati artefak yakni arsitektur rumah tradisional Kudus, dicoba diinterpretasikan tahapan perkembangan arsitektur dalam perubahan kebudayaan masyarakat Kudus.

Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin

PENGARUH KEBUDAYAAN KOLONIAL BELANDA PADA ARSITEKTUR DI INDONESIA

ABSTRAK Tulisan ini merupakan kajian mengenai perubahan arsitektur sebagai bagian dari perubahan kebudayaan pada masyarakat tertentu dengan mengambil kasus Rumah Tradisional di Kota Lama Kudus. Arsitektur sebagai artefak kebudayaan berperan penting dalam memberikan ciri kebudayaan setempat, namun ketika kebudayaan masyarakat kemudian berkembang, apakah artefaknya juga akan mengikuti perkembangan tersebut?. Tulisan ini membahas tentang kebudayaan, kaitannya dengan arsitektur dan bagaimana perubahannya pada masyarakat pesisir Jawa, khususnya Kudus. Kebudayaan merupakan keseluruhan gagasan, karya serta hasil karya manusia yang dicapai melalui ‘belajar’. Kebudayaan juga merupakan hasil adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Sebagai hasil belajar dan beradaptasi, kebudayaan akan terus berubah mengikuti perkembangan jaman. Dari nilai-nilai kebudayaan yang berkembang tersebut terdapat unsur-unsur yang yang berkembang secara cepat, adapula yang berkembang secara lambat, menjadi tradisi. Kebudayaan tradisional meskipun berkembang namun tetap mempertahankan karakter intinya yang diturunkan antar generasi. Kebudayaan yang mentradisi menjadi karakter kuat suatu masyarakat pada tempat tertentu, salah satunya akan terlihat pada artefaknya, arsitektur tradisional. Kebudayaan masyarakat Kudus merupakan bagian dari kebudayaan pesisiran Jawa. Satu ragam kebudayaan Jawa yang berkembang di kota-kota perdagangan di pantai utara Jawa. Kudus dikenal sebagai masyarakat pedagang santri. Perkembangan kebudayaan masyarakat Kudus dari sejarah berdirinya sampai saat ini sangat dinamis dan menarik dipelajari. Sebagaimana kebudayaannya yang khas, bentukan arsitektur permukiman masyarakat Kudus menunjukkan ciri yang kuat, baik pada tata lingkungan permukiman, kelompok rumah sampai pada elemen bangungan rumah tinggalnya. Ciri yang kuat pada arsitektur tradisional rumah tinggal masyarakat Kudus tak pelak mencerminkan Kebudayaannya yang khas pula. Dengan merujuk pada data sejarah kota Kudus dan mencermati artefak yakni arsitektur rumah tradisional Kudus, dicoba diinterpretasikan tahapan perkembangan arsitektur dalam perubahan kebudayaan masyarakat Kudus.

Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
ABSTRAK Tulisan ini merupakan kajian mengenai perubahan arsitektur sebagai bagian dari perubahan kebudayaan pada masyarakat tertentu dengan mengambil kasus Rumah Tradisional di Kota Lama Kudus. Arsitektur sebagai artefak kebudayaan berperan penting dalam memberikan ciri kebudayaan setempat, namun ketika kebudayaan masyarakat kemudian berkembang, apakah artefaknya juga akan mengikuti perkembangan tersebut?. Tulisan ini membahas tentang kebudayaan, kaitannya dengan arsitektur dan bagaimana perubahannya pada masyarakat pesisir Jawa, khususnya Kudus. Kebudayaan merupakan keseluruhan gagasan, karya serta hasil karya manusia yang dicapai melalui ‘belajar’. Kebudayaan juga merupakan hasil adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Sebagai hasil belajar dan beradaptasi, kebudayaan akan terus berubah mengikuti perkembangan jaman. Dari nilai-nilai kebudayaan yang berkembang tersebut terdapat unsur-unsur yang yang berkembang secara cepat, adapula yang berkembang secara lambat, menjadi tradisi. Kebudayaan tradisional meskipun berkembang namun tetap mempertahankan karakter intinya yang diturunkan antar generasi. Kebudayaan yang mentradisi menjadi karakter kuat suatu masyarakat pada tempat tertentu, salah satunya akan terlihat pada artefaknya, arsitektur tradisional. Kebudayaan masyarakat Kudus merupakan bagian dari kebudayaan pesisiran Jawa. Satu ragam kebudayaan Jawa yang berkembang di kota-kota perdagangan di pantai utara Jawa. Kudus dikenal sebagai masyarakat pedagang santri. Perkembangan kebudayaan masyarakat Kudus dari sejarah berdirinya sampai saat ini sangat dinamis dan menarik dipelajari. Sebagaimana kebudayaannya yang khas, bentukan arsitektur permukiman masyarakat Kudus menunjukkan ciri yang kuat, baik pada tata lingkungan permukiman, kelompok rumah sampai pada elemen bangungan rumah tinggalnya. Ciri yang kuat pada arsitektur tradisional rumah tinggal masyarakat Kudus tak pelak mencerminkan Kebudayaannya yang khas pula. Dengan merujuk pada data sejarah kota Kudus dan mencermati artefak yakni arsitektur rumah tradisional Kudus, dicoba diinterpretasikan tahapan perkembangan arsitektur dalam perubahan kebudayaan masyarakat Kudus.

Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar