Rabu, 04 Februari 2015

arsitektur islam di barat (masjid eropa)

 

Arsitektur Islam di Barat  (Masjid di Eropa)

 

Arsitektur Islam dapat dikatakan identik dengan arsitektur masjid. Sebab, ciri-ciri arsitektur Islam dapat terlihat jelas dalam perkembangan arsitektur masjid Islam pernah mengalami kejayaan di Eropa yang dimulai dari Andalusia, Spanyol bagian selatan, pada masa pemerintahan bani Umayah yaitu tahun 711 masehi atau 97 hijriah.
Salah satu bangunan terkenal yang menjadi saksi kejayaan itu adalah Alhambra yang terletak di kota Granada dan Masjid Cordoba yang terletak di Cordoba. Kedua kota tersebut berada di Andalucia, Spanyol. Pembangunan kedua bangunan tersebut didesain tidak lepas dari seni islam yang berkembang pada saat itu.
Kesenian islam yang dimaksud, menurut Prisse (1878) dalam Rabah (2004) terbagi dalam 3 bagian, yaitu bunga, geometri, dan kaligrafi. Ketiga seni islam tersebut yang menghiasi ruang dalam dan fasade bangunan.
Pada bangunan-bangunan Islam di Andalucia, implementasi seni geometri lebih dominan dibandingkan dengan kedua kesenian yang lain. Begitu juga pada teknik pembuatan denah, fasade, dan ornamen-ornamen yang menghiasi ruang dalam bangunan, teknik geometri sangat ditekankkan sehingga kesan simetris sangat terlihat.
Aya Sofia
Kini namanya Museum Aya Sofia. Sebelum menjadi museum, bangunan ini dulunya adalah masjid. Dan sebelum menjadi masjid, ia adalah gereja yang bernama Haghia Sopia. Usia bangunan ini sudah sangat tua, sekitar lima abad. Bangunan ini merupakan kebanggaan masyarakat Muslim di Istanbul, Turki.
Keindahan arsitekturnya begitu mengagumkan para pengunjung. Karenanya, jika berkunjung ke Istanbul, belum lengkap tanpa melihat kemegahan Aya Sofia.
Tampak dari luar, pengunjung disuguhkan ukuran kubah yang begitu besar dan tinggi. Ukuran tengahnya 30 meter, tinggi dan fundamennya 54 meter. Ketika memasuki area bangunan, pengunjung dibuai oleh keindahan interior yang dihiasi mosaik dan fresko.
Tiang-tiangnya terbuat dari pualam warna-warni. Sementara dindingnya dihiasi beraneka ragam ukiran. Selain keindahan interior, daya tarik bangunan ini juga didapat dari nilai sejarahnya. Di sinilah simbol pertarungan antara Islam dan non-Islam, termasuk di dalamnya nilai-nilai sekuler pascaruntuhnya Kekhalifahan Turki Usmani.
 
Gereja
Sebelum diubah menjadi masjid, Aya Sofia adalah sebuah gereja bernama Hagia Sophia yang dibangun pada masa Kaisar Justinianus (penguasa Bizantium), tahun 558 M. Arsitek Gereja Hagia Sophia ini adalah Anthemios dari Tralles dan Isidorus dari Miletus.
Berkat tangan Anthemios dan Isidorus, bangunan Hagia Sophia muncul sebagai simbol puncak ketinggian arsitektur Bizantium. Kedua arsitek ini membangun Gereja Hagia Sophia dengan konsep baru. Hal ini dilakukan setelah orang-orang Bizantium mengenal bentuk kubah dalam arsitektur Islam, terutama dari kawasan Suriah dan Persia. Keuntungan praktis bentuk kubah yang dikembangkan dalam arsitektur Islam ini, terbuat dari batu bata yang lebih ringan daripada langit-langit kubah orang-orang Nasrani di Roma, yang terbuat dari beton tebal dan berat, serta mahal biayanya.
Oleh keduanya, konsep kubah dalam arsitektur Islam ini dikombinasikan dengan bentuk bangunan gereja yang memanjang. Dari situ kemudian muncullah bentuk kubah yang berbeda secara struktur, antara kubah Romawi dan kubah Bizantium. Pada arsitektur Romawi, kubah dibangun di atas denah yang sudah harus berbentuk lingkaran, dan struktur kubahnya ada di dalam tembok menjulang tinggi, sehingga kubah itu sendiri hampir tidak kelihatan. Sedangkan kubah dalam arsitektur Bizantium dibangun di atas pendentive–struktur berbentuk segitiga melengkung yang menahan kubah dari keempat sisi denah persegi–yang memungkinkan bangunan kubah tersebut terlihat secara jelas.
Bangunan gereja ini sempat hancur beberapa kali karena gempa, kemudian dibangun lagi. Pada 7 Mei 558 M, di masa Kaisar Justinianus, kubah sebelah timur runtuh terkena gempa. Pada 26 Oktober 986 M, pada masa pemerintahan Kaisar Basil II (958-1025), kembali terkena gempa. Akhirnya, renovasi besar-besaran dilakukan agar tak terkena gempa di awal abad ke-14.
Pengembangan Turki Usmani
Pada 27 Mei 1453, Konstantinopel takluk oleh tentara Islam di bawah pimpinan Muhammad II bin Murad II atau yang terkenal dengan nama Al-Fatih yang artinya sang penakluk. Saat berhasil menaklukkan kota besar Nasrani itu, Al-Fatih turun dari kudanya dan melakukan sujud syukur.
Ia pergi menuju Gereja Hagia Sophia. Saat itu juga, bangunan gereja Hagia Sophia diubah fungsinya menjadi masjid yang diberi nama Aya Sofia. Pada hari Jumatnya, atau tiga hari setelah penaklukan, Aya Sofia langsung digunakan untuk shalat Jumat berjamaah.
Sepanjang kekhalifahan Turki Usmani, beberapa renovasi dan perubahan dilakukan terhadap bangunan bekas gereja Hagia Sophia tersebut agar sesuai dengan corak dan gaya bangunan masjid.
Dalam sejarah arsitektur Islam, orang-orang Turki dikenal sebagai bangsa yang banyak memiliki andil dalam pengembangan arsitektur Islam ke negara-negara lainnya. Sementara dalam masalah keagamaan, orang-orang Turki terkenal sangat bijak, sebab mereka tidak memaksakan penduduk daerah taklukannya untuk masuk Islam, meskipun mereka berani berperang untuk membela Islam.
Karena orang-orang Turki yang beragama Islam cukup arif, maka ketika Gereja Hagia Sophia dialihfungsikan menjadi masjid pada 1453, bentuk arsitekturnya tidak dibongkar. Kubah Hagia Sophia yang menjulang ke atas dari masa Bizantium ini tetap dibiarkan, tetapi penampilan bentuk luar bangunannya kemudian dilengkapi dengan empat buah menara. Empat menara ini, antara lain, dibangun pada masa Al-Fatih, yakni sebuah menara di bagian selatan. Pada masa Sultan Salim II, dibangun lagi sebuah menara di bagian timur laut. Dan pada masa Sultan Murad III, dibangun dua buah menara.
Pada masa Sultan Murad III, pembagian ruangnya disempurnakan dengan mengubah bagian-bagian masjid yang masih bercirikan gereja. Termasuk, mengganti tanda salib yang terpampang pada puncak kubah dengan hiasan bulan sabit dan menutupi hiasan-hiasan asli yang semula ada di dalam Gereja Hagia Sophia dengan tulisan kaligrafi Arab. Altar dan perabotan-perabotan lain yang dianggap tidak perlu, juga dihilangkan.
Begitu pula patung-patung yang ada dan lukisan-lukisannya sudah dicopot atau ditutupi cat. Lantas selama hampir 500 tahun bangunan bekas Gereja Hagia Sophia berfungsi sebagai masjid.
Akibat adanya kontak budaya antara orang-orang Turki yang beragama Islam dengan budaya Nasrani Eropa, akhirnya arsitektur masjid yang semula mengenal atap rata dan bentuk kubah, kemudian mulai mengenal atap meruncing. Setelah mengenal bentuk atap meruncing inilah merupakan titik awal dari pengembangan bangunan masjid yang bersifat megah, berkesan perkasa dan vertikal. Hal ini pula yang menyebabkan timbulnya gaya baru dalam penampilan masjid, yaitu pengembangan lengkungan-lengkungan pada pintu-pintu masuk, untuk memperoleh kesan ruang yang lebih luas dan tinggi.
Museum
Perubahan drastis terjadi di masa pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk di tahun 1937. Penguasa Turki dari kelompok Muslim nasionalis ini melarang penggunaan bangunan Masjid Aya Sofia untuk shalat, dan mengganti fungsi masjid menjadi museum. Mulailah proyek pembongkaran Masjid Aya Sofia. Beberapa desain dan corak bangunan yang bercirikan Islam diubah lagi menjadi gereja.
Sejak difungsikan sebagai museum, para pengunjung bisa menyaksikan budaya Kristen dan Islam bercampur menghiasi dinding dan pilar pada bangunan Aya Sofia. Bagian di langit-langit ruangan di lantai dua yang bercat kaligrafi dikelupas hingga mozaik berupa lukisan-lukisan sakral Kristen peninggalan masa Gereja Hagia Sophia kembali terlihat.
Sementara peninggalan Masjid Aya Sofia yang menghiasi dinding dan pilar di ruangan lainnya tetap dipertahankan.
Sejak saat itu, Masjid Aya Sofia dijadikan salah satu objek wisata terkenal di Istanbul oleh pemerintah Turki. Nilai sejarahnya tertutupi gaya arsitektur Bizantium yang indah memesona.
Menjadi Inspirasi dalam Perkembangan Arsitektur Islam
Salah satu masjid yang gaya arsitekturnya banyak ditiru oleh para arsitek Muslim dalam membangun masjid di berbagai wilayah kekuasaan Islam adalah Masjid Aya Sofia di Istanbul, Turki.
Desain dan corak bangunan Aya Sofia sangat kuat mengilhami arsitek terkenal Turki Sinan (1489-1588) dalam membangun masjid. Sinan merupakan arsitek resmi kekhalifahan Turki Usmani dan posisinya sejajar dengan menteri.
Kubah besar Masjid Aya Sofia diadopsi oleh Sinan–yang kemudian diikuti oleh arsitek muslim lainnya–untuk diterapkan dalam pembangunan masjid.
Salah satu karya terbesar Sinan yang mengadopsi gaya arsitektur Aya Sofia adalah Masjid Agung Sulaiman di Istanbul yang dibangun selama 7 tahun (1550-1557). Seperti halnya Aya Sofia, masjid yang kini menjadi salah satu objek wisata dunia itu memiliki interior yang megah, ratusan jendela yang menawan, marmer mewah, serta dekorasi indah.
Dalam sejarah arsitektur Islam, orang-orang Turki dikenal sebagai bangsa yang banyak memiliki andil dalam pengembangan arsitektur Islam hingga ke negara lainnya. Misalnya Dinasti Seljuk yang menampilkan tiga ciri arsitektur Islam, khususnya arsitektur masjid.
Pertama, Dinasti Seljuk tetap mengembangkan konsep mesjid asli Arab, dengan lapangan terbuka di bagian tengahnya. Kedua, konsep masjid madrasah dan berkubah juga dikembangkan. Ketiga, mengembangkan konsep baru setelah berkenalan dengan kebudayaan Barat, terutama pada masa Dinasti Umayyah.
Ketika orang-orang Turki memperluas kekuasaannya atas dasar kepentingan ekonomi dan militer pada abad ke-11, mereka akhirnya bisa menguasai Bizantium.
Saat kebudayaan Islam bersentuhan dengan kebudayaan Eropa di Kerajaan Romawi Timur (Bizantium/Konstantinopel) pada abad ke-11, arsitektur Islam juga menimba teknik dan bentuk arsitektur Eropa, yang tumbuh dari arsitektur Yunani dan Romawi. Sebaliknya, teknik dan bentuk arsitektur Islam yang dibawa oleh bangsa Turki juga disadap oleh bangsa Romawi untuk dikembangkan di Kerajaan Romawi Timur.
Akibat adanya kontak budaya antara orang-orang Muslim Turki dan budaya Nasrani di Eropa Timur inilah, arsitektur Islam yang semula hanya mengenal atap bangunan rata dan bentuk kubah, kemudian mulai mengenal atap meruncing ke atas. Selain itu, sejak bersentuhan dengan kebudayaan Kerajaan Romawi Timur ini juga, arsitektur Islam mulai mengenal arsitektur yang bersifat megah, berkesan perkasa, dan vertikalisme.(rpb)
Masjid Cordoba

Selama 33 tahun pemerintahannya, Abdul Rahman menjadikan Cordoba sebagai pusat pemerintahan. Pada tahun 785, Abdul Rahman merancang sebuah rancangan masjid besar yang akan menjadi salah satu masterpiece arsitektur klasik Islam terbesar di daratan Eropa. Masjid itu terkenal dengan sebutan Masjid Cordoba. Pada awalnya Abdul Rahman hanya membangun masjid seluas 70 meter firkan (m²) bangunan di atas tanah seluas 5.000 meter firkan yang berbentuk pelataran (mengikuti tradisi bangunan Islam lainnya). Hall hypostyle ini memiliki sebelas ruangan besar yang tegak lurus terhadap arah kiblat.
Tiap-tiap ruangan itu dipisahkan atau dibatasi oleh 11 deretan arcade yang atapnya mempunyai lengkungan-lengkungan. Setiap deretan mempunyai 11 tiang kolom sehingga masing-masing ruangan seolah-olah memiliki 20 tiang kolom. Jumlah tiang-tiang kolom itu seluruhnya 110 tiang kolom. Tiang-tiang kolom tersebut merupakan tiang-tiang antik zaman Romawi, yang disimpan Kerajaan Visighot semasa kerajaan itu menjadi sekutu Romawi (saat berkuasa).
Hal ini mirip dengan apa yang dilakukan Khalifah al-Walid, leluhur Abdul Rahman. Tatkala membangun Masjid Damaskus, Abdul Rahman mendatangkan batu-batu pualam dari Narbonne, Seville dan Konstantinopel (sekarang Istambul). Kini, panjang Masjid Cordoba dari utara ke selatan 175 meter dan lebarnya dari timur ke Barat 134 meter.
Sedangkan tingginya mencapai 20 meter. Tidak semua bangunan diberi atap. Ada bagian-bagian tertentu yang sengaja dibuat terbuka agar cahaya dan udara segar bisa masuk ke dalam masjid. Bahkan, cahaya yang masuk dibuat sedemikian sehingga langsung masuk ke ruang shalat pratama (utama), yang atapnya dibuat dari kayu-kayu pilihan.
Pada masa pemerintahan Hisyam I (788-796) dan juga al-Hakam I (796-822), Masjid Cordoba sama sekali tidak mengalami modifikasi. Barulah ketika masa Abdul Rahman II (822-852), dilakukan perluasan yang pertama: menambah jumlah tiang kolom di ruangan berbentuk gaya hypostyle tersebut menjadi 200 tiang kolom. Pada saat pelaksanaan konstruksi, antara tahun 832 hingga 848 masehi diagendakan kegiatan konstruksi untuk menggeser penunjuk arah kiblat sedikit ke arah tenggara sehingga bangunan menjadi menghadap ke Ka’bah.
Namun, jumlah ruangan besar, yang ada sebelas itu, tidak dirubah meski agak mengalami perluasan.
Delapan tahun kemudian, Khalifah Abdul Rahman III (912-961), yang memproklamasikan dirinya sebagai Khalifah pada tahun 929, melakukan perluasan babak kedua. Khalifah memperluas aula pada sektor barat daya dan membangun sebuah menara segi empat setinggi 34 meter pada tepi halaman pelataran. Beberapa tahun kemudian, al-Hakam II (961-976) melanjutkan modifikasi atas masjid dengan memberikan sentuhan monumental: mengubah bentuk ruang shalat di depan mihrab dari ruang terbuka biasa menjadi satu lajur yang membujur. Lebarnya masih 70 meter, namun panjangnya menjadi 115 meter dengan 320 tiang kolom.
Abdul Rahman III juga merobohkan menara yang dibangun oleh Khalifah Hasyim I dan menggantinya dengan menara baru yang lebih tinggi dan lebih mewah. Pembangunannya menggunakan tenaga al-Muntasir, seorang ahli mosaik dari Konstantinopel. Dengan demikian, maka saat itu terdapat 32 lorong dan sebuah mihrab di bawah atap kupola (atap kubah) berbentuk segi delapan yang lebih tinggi dari tiga kupola lain yang letaknya berhadap-hadapan satu sama lain.
Karakter inilah yang menjadi kekhasan karakter asli Masjid Cordoba. Di muka mihrab terdapat empat tiang yang berseberangan: dua di antaranya terbuat dari batu pualam berwarna hijau dan yang dua lagi berwarna biru langit.
Dalam ruang mihrab ini dibuat tujuah buah arcade (semacam lorong beratap) yang ditopang oleh tiang-tiang yang mempunyai kapitel berhiaskan ornamen timbul yang sangat halus buatannya.
Di sebelah kiri mihrab terdapat khazanah: ruangan tempat menyimpan harta kekayaan masjid. Mimbar masjid, pada mihrab, terbuat dari bahan-bahan yang mahal harganya. Bahkan, pembuatannya saja memakan waktu tujuh tahun.
Di bagian utara ruangan Mihrab, terdapat saumaah: tempat i’tikaf dan zikir, yang di antaranya terdapat ruangan dengan empat buah pintu sebagai tempat muazin (yang sempat berjumlah 16 orang).
Ruangan yang berada di arah kiblat ini memiliki lebar 7 meter dan tinggi 16 meter dengan mihrab di tengah-tengahnya.
Masjid Cordoba memiliki 20 buah gapura berlapis tembaga yang berukiran hiasan tulisan Arab. Salah satu gapura dinamai Bab al-Manarah. Gapura yang memiliki tinggi 10 meter dan lebar 8 meter ini merupakan salah satu gapura masjid terindah di dunia.
Elemen Masjid Gaya Spanyol
Kini, kita kembali kepada elemen-elemen khas bergaya Umayyah di Spanyol. .
Pada tahun 987, bangunan telah mengalami pembangunan dengan melanjutkan pemindahan kiblat kembali ke bagian tenggara bangunan dengan tujuan untuk tetap menjaga bentuk simetris bangunan. Pada saat itu, bagaimanapun juga, delapan ruangan besar telah ditambah memanjang ke arah ruang shalat di sisi sebelah kiri (arah barat laut), sehingga memerlukan 244 tiang kolom tambahan. Sejak itu, Masjid Cordoba memiliki 544 tiang kolom dan 44 pilar interior. Masjid juga ditunjang oleh 606 tiang-tiang pilar penunjang. Ruang bagian dalam ini, setelah perluasan menjadi berukuran 130 kali 115 meter firkan, kemudian tampak seperti ruang besar seperti gaya tradisi bangun ruang Islam lainnya.
Ruangan interior yang besar, dengan bentuk seperti di Masjidil Haram, memerlukan bobot yang seimbang. Ternyata kolom-kolom Visighot dan peninggalan kuno lainnya yang dikumpulkan oleh para arsitek muslim dari seantero Spanyol tidak setinggi kolom-kolom yang digunakan pada Masjid Agung Damaskus.
Maka untuk mengatasi kekurangan ini para arsitek tersebut mencoba untuk kembali kepada formula awal: bahwa inovasi terbesar dari masjid ini adalah bentuk hypostyle-nya yang menggunakan sistem dua arcade yang ditata membentuk lorong-lorong.
Kemudian, ditunjang dengan atap datar yang strukturnya berseri secara longitudinal. Siapa pun yang memasuki ’hutan tiang kolom’ pada lorong-lorong itu akan terpesona dengan berlimpahnya kolom-kolom dan lengkungan-lengkungan: yang pada setiap arah tampak seperti pemandangan barisan pepohonan, yang semakin ke belakang semakin tak terlihat dengan intensitas cahaya yang semakin berkurang. Barisan tiang-tiang kolom itu sepertinya membentuk dan mengendalikan atmosfer suasana yang tak pernah habis. Kolom-kolom itu seakan-akan bergetar jika terkena sorotan cahaya. Karakter ini sebagian besar masih bertahan hingga saat ini.
Sebelum itu, belum pernah ada pemikiran untuk membuat gaya dan karakter hypostyle seperti di Masjid Cordoba yang begitu transparan, walaupun penuh dengan tiang-tiang kolom. Biasanya, bangunan-bangunan besar kebanyakan menggunakan metode yang sangat simpel (sederhana) dalam membuat dimensi penyusunan arcade (lori-lori beratap). Tidak saja dalam bangunan-bangunan Islam tetapi juga bangunan-bangunan hypostyle pada kuil-kuil Mesir di Karnak, Luksor, Edfu dan tidak juga basilika-basilika Romawi (seperti basilika Ulpia), juga tidak di Gereja Konstantinopel yang sebetulnya bisa dijadikan sebagai pembanding terdekat.
Bentuk hypostyle ini akhirnya diterapkan selama beberapa waktu di Maghribi, yang berada di bawah kekuasaan Islam di Spanyol. Namun, keberadaan Masjid Cordoba memang sangat dipengaruhi oleh kulminasi sistem bangunan masjid yang telah diilustrasikan sebelumnya pada Masjid Amr di Fustat (sekarang Kairo) atau Masjid Agung Aghlabids di Qairawan yang di tengah-tengah masjidnya berdiri tiang utama yang mendukung 1.000 lentera. Ya, Masjid Cordoba juga mempunyai 1.000 lampu (pada tiang utama) yang tergantung pada 113 buah kandil besar.
Hiasan Dekoratif Masjid
Dekorasi Masjid Cordoba dikerjakan selama masa pemerintahan Khalifah al-Hakam II, terutama di lokasi sekitar mihrab dan maqsurah: pintu-pintu (seluruhnya ada sembilan pintu) yang terbuat dari tembaga kuning, kecuali sebuah yang terbuat dari emas murni. Maqsurah di Cordoba, secara arsitektur tergolong sangat bagus. Bentuk ini, sebenarnya bertolak belakang dengan ideologi egaliter asli seni muslim, dan sepertinya berhubungan dengan aspek arsitektur terpenting pada model arsitektur kontemporer yang terdapat pada Gereja Mozarabic di Spanyol bagian utara, di mana ruangan yang dianggap paling suci ditempatkan tersembunyi.
Di Cordoba, maqsurah ini menjadi batas paling luar dari area-area yang sama bentuk dari tiga naves yang letaknya bersinggungan dengan lengkungan multifoil, yang mempunyai banyak keistimewaan. Permainan bentuk dari arcade ini, yang bersilangan satu sama lain membentuk kesan claustrum, atau tirai tembus pandang yang menambah kesakralan masjid.
Kemegahan dekorasi pada ruang shalat, sangat menonjolkan ruang mihrab. Lubang-lubang hiasan diletakkan pada ruangan kecil berbentuk segi delapan. Konfigurasi yang menakjubkan pada mihrab tersebut menjadi pusat perhatian.
Dalam konteks ini, mihrab bukan semata sebagai merupakan simbol ritualitas semata: namun lebih sebagai akses menuju ruang sebelahnya. Namun demikian, mihrab Masjid Cordoba ‘menancap’ pada kegelapan dan terkubur bagai misteri yang susah dipahami sebagai simbol keabadian Allah. Pola tersebut kemudian, sering digunakan kembali pada bangunan-bangunan masjid di Andalusia dan Maghribi yang digunakan untuk melakukan oratori (pidato), seperti di Istana al-Ja’far di Saragosa, Masjid Agung di Tlemcen, Masjid Qarawiyn di Fez, Masjid Jami’ di Tinmal, Masjid Agung di Seville, dll.
Ruangan itu tampak lebih redup dan sahdu karena ditempatkan di belakang lengkungan tapal kuda yang mewah, yang dilapisi dengan mosaik berwarna polichrome dan warna dasar emas. Motif dekorasi pada lengkungan-lengkungan batu besar di sekitar mihrab tampaknya sangat konsisten menampilkan bentuk-bentuk abstrak dari tanaman dan buah-buahan dalam berbagai kombinasi warna yang berbeda-beda: emas, biru, dengan warna dasar merah.
Di sekitarnya, terdapat architrave segi empat berbentuk relief yang disebut alfiz, dengan karakteristik khas bahasa arsitektur Islam. Kerangka ini terkadang dihiasi dengan mosaik bermotifkan tulisan dan pahatan ayat al-Qur’an. Tulisan dua baris tersebut ditulis dalam skrip Kufic berwarna emas di atas dasar berwarna biru. Tulisan Arab yang dinamakan Kufic, berasal dari tradisi orang Kuffah: biasanya digunakan untuk menyalin ayat-ayat suci.
Gaya tulisannya mudah dikenali dengan gaya tulisan melingkar atau kadangkala persegi empat, dan kadangkala menjulang ke atas memberikan kesan yang khidmat dan monumental. Begitu juga, di sekitar mihrab dan di atas alfiz terdapat tujuh panel ornamental kecil berbentuk lengkungan berhiaskan dekorasi berbentuk daun tiga serangkai (arches) yang ditopang oleh kolom-kolom kecil.
Kerangka lengkungan yang indah bermotifkan bunga dan berlatar belakang warna emas ini menggambarkan pohon anggur dan daun-daun yang sedang mekar.
Cupola
Atap masjid yang berada di atas maqsurah tak dapat diragukan lagi merupakan elemen dekoratif dan arsitektur yang paling menarik dari masjid ini. Delapan arch langsing, yang menonjol dan berkaitan dengan rangka-rangka lain yang tengahnya membentuk pola segi delapan berdiameter 6 meter ini menunjang rangka cupola.
Bentuk dan pola lengkungan-lengkungan itu mengikuti prinsip dua bujur sangkar yang melintang satu sama lainnya, sejauh 45 derajat (pola yang sama terdapat pada Kubah al-Sakhra) di Yerussalem. Sistem seperti ini merupakan pelopor dari rangka lengkungan pada revolusi besar-besaran pola arsitektur Eropa pada periode Gothic.
Kompleksitas langit-langit seperti ini seluruhnya dihiasi dengan motif-motif mosaik yang sangat indah dengan latar belakang warna emas, yang merupakan hasil karya para seniman Byzantium, seperti dekorasi yang berada di sekeliling mihrab.
Seperti pada Kubah al-Sakhra dan Masjid Agung Damaskus, para seniman mosaik juga didatangkan dari Istambul (dulu Konstantinopel): untuk juga membuat hiasan dekoratif di Cordoba. Khalifah Al-Hakim II, menerimanya dari Kaisar Byzantium, Nicephorus II Phocas (963-969).
Maka, sejumlah kru ahli mosaik pun berdatangan untuk membuat dekorasi-dekorasi berwarna emas di seluruh kompleks masjid ini. Para seniman Kristen pun ikut dipekerjakan. Mereka membuat rancangan lansekap seperti yang telah membuat indah pelataran Masjid Damaskus.
Adanya kerjasama kebudayaan itu mungkin karena Cordoba tidak seperti penguasa Islam di Timur Dekat: bahwa situasi politik dan kegiatan-kegiatan militer tidak merusak kerja sama dan produktivitas kebudayaan (artistik) antara kekhilafahan Umayyah dan kekaisaran Byzantium.
Masjid yang terus disempurnakan hampir selama dua abad ini masih dianggap sebagai salah satu masjid yang terumit dan terindah di dunia. Masjid Cordoba adalah sebuah karya besar.
Sampai sekarang pun masih berdiri kokoh. Namun, pada saat Cordoba jatuh ke tangan penguasa Spanyol Nasrani, masjid ini pada tahun 1236 sempat diubahfungsikan menjadi sebuah gereja dengan nama La Mazquita.
 
(blog.irwan.kurniawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar