PENGARUH KEBUDAYAAN KOLONIAL BELANDA PADA ARSITEKTUR DI INDONESIA
Gaya arsitektur kolonial di Indonesia seolah lekat dengan perjalanan panjang negeri ini dalam bingkai pembangunan menuju kemerdekaan. Bangunan-bangunan bergaya colonial banyak tersebar diberbagai kota di tanah air. Sebagai negara bekas jajahan bangsa Eropa dan Asia seperti Belanda dan Portugis serta Jepang, pengaruh gaya arsitektur dari negeri Belanda, Portugis serta Jepang, cukup besar terhadap perkembangan arsitektur di Indonesia. Bahkan tak jarang terjadi perpaduan diantara gaya Eropa dengan arsitektur tradisional Indonesia.
TIPOLOGI BARU
Arsitektur kolonial merupakan sebutan singkat untuk
langgam arsitektur yang berkembang selama masa pendudukan Belanda di tanah air.
Masuknya unsur Eropa ke dalam komposisi kependudukan menambah kekayaan ragam
arsitektur di nusantara. Seiring berkembangnya peran dan kuasa, kamp-kamp Eropa
semakin dominan dan permanen hingga akhirnya berhasil berekspansi dan
mendatangkan tipologi baru. Semangat modernisasi dan globalisasi (khususnya
pada abad ke-18 dan ke-19) memperkenalkan bangunan modern seperti administrasi
pemerintah kolonial, rumah sakit atau fasilitas militer. Bangunan-bangunan inilah
yang disebut dan dikenal dengan bangunan kolonial.
Sejarah mencatat bahwa Perkembangan Arsitektur Kolonial
di Indonesia diawali oleh bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Indonesia
yakni Portugis, yang kemudian diikuti oleh Spanyol, Inggris dan Belanda. Pada
mulanya kedatangan mereka dengan maksud berdagang. Mereka membangun rumah dan
pemukimannya di beberapa kota di Indonesia yang biasanya terletak dekat dengan
pelabuhan. Dinding rumah mereka terbuat dari kayu dan papan dengan penutup atap
ijuk. Namun karena sering terjadi konflik mulailah dibangun benteng. Hampir di
setiap kota besar di Indonesia. Dalam benteng tersebut, mulailah bangsa Eropa
membangun beberapa bangunan dari bahan batu bata. Batu bata dan para tukang
didatangkan dari negara Eropa. Mereka membangun banyak rumah, gereja dan
bangunan-bangunan umum lainnya dengan bentuk tata kota dan arsitektur yang sama
persis dengan negara asal mereka.
KOLONIAL & NEO
KLASIK
Pada saat itu, di Hindia Belanda terbentuk gaya
arsitektur tersendiri yang dipelopori oleh Gubernur Jenderal HW yang dikenal
dengan the Empire Style, atau The Ducth Colonial Villa: Gaya arsitektur
neo-klasik yang melanda Eropa (terutama Prancis) yang diterjemahkan secara
bebas. Hasilnya berbentuk gaya Hindia Belanda yang bercitra Kolonial yang
disesuaikan dengan lingkungan lokal, iklim dan material yang tersedia pada masa
itu.
Bangunan-bangunan yang berkesan grandeur (megah) dengan
gaya arsitektur Neo Klasik dikenal dengan Indische Architecture, karakter
arsitektur ini dapat dilihat seperti : Denah simetris dengan satu lantai,
terbuka, pilar di serambi depan dan belakang (ruang makan) dan didalamnya
terdapat serambi tengah yang menuju ke ruang tidur dan kamar-kamar lainnya. Pilar
menjulang ke atas (gaya Yunani) dan terdapat gevel atau mahkota di atas serambi
depan dan belakang dan menggunakan atap perisai.
Pada tahun 1902 sampai tahun 1920-an, secara umum, ciri
dan karakter arsitektur kolonial di Indonesia pada tahun 1900-1920-an yaitu
menggunakan Gevel (gable) pada tampak depan bangunan. Bentuk gable sangat
bervariasi seperti curvilinear gable, stepped gable, gambrel gable, pediment
(dengan entablure). Serta penggunaan
Tower pada bangunan Pengunaan tower pada mulanya digunakan pada bangunan gereja
kemudian diambil alih oleh bangunan umum dan menjadi mode pada arsitektur
kolonial Belanda pada abad ke 20. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari yang
bulat, segiempat dan ada yang dikombinasikan dengan gevel depan. Serta penggunaaan
Dormer pada bangunan. Penyesuaian bangunan terhadap iklim tropis basah seperti pemilihan bentuk ventilasi yang lebar
dan tinggi, sebagai antisipasi dari hujan dan sinar matahari.
KOMBINASI ARSITEKTUR
Tahun
1920 sampai tahun 1940-an Gerakan pembaharuan dalam arsitektur baik di tingkat
nasional maupun internasional. Hal ini mempengaruhi arsitektur kolonial Belanda
di Indonesia.
Pada awal abad 20, arsitek-arsitek yang baru datang
dari negeri Belanda memunculkan pendekatan untuk rancangan arsitektur di Hindia
Belanda. Aliran baru ini, semula masih memegang unsur-unsur mendasar bentuk
klasik, memasukkan unsur-unsur yang terutama dirancang untuk mengantisipasi
matahari, hujan lebat dan iklim tropis.
Selain
unsur-unsur arsitektur tropis, juga memasukkan unsur-unsur arsitektur
tradisional (asli) Indonesia sehingga menjadi konsep yang eklektis. Konsep ini
nampak pada karya Maclaine Pont seperti kampus Technische Hogeschool (ITB),
Gereja Poh sarang di Kediri. Hal ini menjadi bukti telah terjadi kombinasi
gaya-gaya arsitektur dalam perjalanan perjalanan rancang bangun di Indonesia,
antara arsitektur kolonial dengan arsitektur lokal, baik yang berasa dari pulau
Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara,
Kalimantan, Sulawesi, Ambon dan Papua serta kota-kota lainnya. Hasil perpaduan dari gaya arsitektur tersebut
hingga saat ini masih dapat dinikmati sebagai obyek budaya dan pendidikan
sekaligus bukti sejarah perkembangan bangsa.
PERIODISASI PERKEMBANGAN ARSITEKTUR KOLONIAL BELANDA
Karakteristik
Arsitektur Kolonial Belanda dapat dilihat dari segi periodisasi perkembangan
arsitekturnya serta dapat pula ditinjau dari berbagai elemen ornamen yang
digunakan bangunan kolonial tersebut. Periodisasi Arsitektur Kolonial Belanda
Helen Jessup dalam Handinoto (1996: 129-130) membagi periodisasi perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia dari abad ke 16 sampai tahun 1940-an menjadi empat bagian, yaitu:
Helen Jessup dalam Handinoto (1996: 129-130) membagi periodisasi perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia dari abad ke 16 sampai tahun 1940-an menjadi empat bagian, yaitu:
1.
Abad 16 sampai tahun 1800-an
Pada
waktu ini Indonesia masih disebut sebagai Nederland Indische (Hindia Belanda)
di bawah kekuasaan perusahaan dagang Belanda yang bernama VOC (Vereenigde Oost
Indische Compagnie). Selama periode ini arsitektur kolonial Belanda kehilangan
orientasinya pada bangunan tradisional di Belanda serta tidak mempunyai suatu
orientasi bentuk yang jelas. Yang lebih buruk lagi, bangunan-bangunan tersebut
tidak diusahakan untuk beradaptasi dengan iklim dan lingkungan setempat.
2.
Tahun 1800-an sampai tahun 1902
Ketika
itu, pemerintah Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari perusahaan dagang VOC.
Setelah pemerintahan Inggris yang singkat pada tahun 1811-1815. Hindia Belanda
kemudian sepenuhnya dikuasai oleh Belanda. Indonesia waktu itu diperintah
dengan tujuan untuk memperkuat kedudukan ekonomi negeri Belanda. Oleh sebab
itu, Belanda pada abad ke-19 harus memperkuat statusnya sebagai kaum kolonialis
dengan membangun gedung-gedung yang berkesan grandeur (megah). Bangunan gedung
dengan gaya megah ini dipinjam dari gaya arsitektur neo-klasik yang sebenarnya
berlainan dengan gaya arsitektur nasional Belanda waktu itu.
3.
Tahun 1902-1920-an
Antara
tahun 1902 kaum liberal di negeri Belanda mendesak apa yang dinamakan politik
etis untuk diterapkan di tanah jajahan. Sejak itu, pemukiman orang Belanda
tumbuh dengan cepat. Dengan adanya suasana tersebut, maka “indische
architectuur” menjadi terdesak dan hilang. Sebagai gantinya, muncul standar
arsitektur yang berorientasi ke Belanda. Pada 20 tahun pertama inilah terlihat
gaya arsitektur modern yang berorientasi ke negeri Belanda.
4.
Tahun 1920 sampai tahun 1940-an
Pada
tahun ini muncul gerakan pembaruan dalam arsitektur, baik nasional maupun
internasional di Belanda yang kemudian memengaruhi arsitektur kolonial di
Indonesia. Hanya saja arsitektur baru tersebut kadang-kadang diikuti secara
langsung, tetapi kadang-kadang juga muncul gaya yang disebut sebagai
ekletisisme (gaya campuran). Pada masa tersebut muncul arsitek Belanda yang
memandang perlu untuk memberi ciri khas pada arsitektur Hindia Belanda. Mereka
ini menggunakan kebudayaan arsitektur tradisional Indonesia sebagai sumber
pengembangannya.
.
Gambar
2.1 Arsitektur Kolonial
Hampir
serupa dengan Helen Jessup, Handinoto (1996: 130-131) membagi periodisasi
arsitektur kolonial di Surabaya ke dalam tiga periode, yaitu:
1)
perkembangan arsitektur antara tahun 1870-1900;
2)
perkembangan arsitektur sesudah tahun 1900;
3)
perkembangan arsitektur setelah tahun 1920.
Perkembangan arsitektur kolonial Belanda tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Perkembangan
Arsitektur Antara Tahun 1870-1900
Akibat
kehidupan di Jawa yang berbeda dengan cara hidup masyarakat Belanda di negeri
Belanda maka di Hindia Belanda (Indonesia) kemudian terbentuk gaya arsitektur
tersendiri. Gaya tersebut sebenarnya dipelopori oleh Gubernur Jenderal HW.
Daendels yang datang ke Hindia Belanda (1808-1811). Daendels adalah seorang
mantan jenderal angkatan darat Napoleon, sehingga gaya arsitektur yang
didirikan Daendels memiliki ciri khas gaya Perancis, terlepas dari kebudayaan
induknya, yakni Belanda.
Gaya
arsitektur Hindia Belanda abad ke-19 yang dipopulerkan Daendels tersebut
kemudian dikenal dengan sebutan The Empire Style. Gaya ini oleh Handinoto juga
dapat disebut sebagai The Dutch Colonial. Gaya arsitektur The Empire Style
adalah suatu gaya arsitektur neo-klasik yang melanda Eropa (terutama Prancis,
bukan Belanda) yang diterjemahkan secara bebas. Hasilnya berbentuk gaya Hindia
Belanda (Indonesia) yang bergaya kolonial, yang disesuaikan dengan lingkungan
lokal dengan iklim dan tersedianya material pada waktu itu (Akihary dalam
Handinoto, 1996: 132). Ciri-cirinya antara lain: denah yang simetris, satu
lantai dan ditutup dengan atap perisai. Karakteristik lain dari gaya ini
diantaranya: terbuka, terdapat pilar di serambi depan dan belakang, terdapat
serambi tengah yang menuju ke ruang tidur dan kamar-kamar lain. Ciri khas dari
gaya arsitektur ini yaitu adanya barisan pilar atau kolom (bergaya Yunani) yang
menjulang ke atas serta terdapat gevel dan mahkota di atas serambi depan dan
belakang. Serambi belakang seringkali digunakan sebagai ruang makan dan pada
bagian belakangnya dihubungkan dengan daerah servis (Handinoto, 1996: 132-133).
2. Perkembangan
Arsitektur Sesudah Tahun 1900
Handinoto
(1996: 163) menyebutkan bahwa, bentuk arsitektur kolonial Belanda di Indonesia
sesudah tahun 1900 merupakan bentuk yang spesifik. Bentuk tersebut merupakan
hasil kompromi dari arsitektur modern yang berkembang di Belanda pada waktu
yang bersamaan dengan penyesuaian iklim tropis basah Indonesia. Ada juga
beberapa bangunan arsitektur kolonial Belanda yang mengambil elemen-elemen
tradisional setempat yang kemudian diterapkan ke dalam bentuk arsitekturnya.
Hasil keseluruhan dari arsitektur kolonial Belanda di Indonesia tersebut adalah
suatu bentuk khas yang berlainan dengan arsitektur modern yang ada di Belanda
sendiri.
Handinoto
(1996: 151-163) juga menguraikan bahwa, kebangkitan arsitektur Belanda
sebenarnya dimulai dari seorang arsitek Neo-Gothik, PJH. Cuypers (1827-1921)
yang kemudian disusul oleh para arsitek dari aliran Niuwe Kunst (Art Nouveau
gaya Belanda) HP. Berlage (185-1934) dan rekan-rekannya seperti Willem Kromhout
(1864-1940), KPC. De Bazel (1869-1928), JLM. Lauweriks (1864-1932), dan Edward
Cuypers (1859-1927). Gerakan Nieuw Kunst yang dirintis oleh Berlage di Belanda
ini kemudian melahirkan dua aliran arsitektur modern yaitu The Amsterdam School
serta aliran De Stijl. Adapun penjelasan mengenai arsitektur Art Nouveau, The
Amsterdam School dan De Stijl dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Art
Nouveau
Art
Nouveau adalah gerakan internasional dan gaya seni arsitektur dan diterapkan
terutama pada seni-seni dekoratif yang memuncak pada popularitas di pergantian
abad 20 (1890-1905). Nama Art Nouveau adalah bahasa Perancis untuk ‘seni baru’.
Gaya ini ditandai dengan bentuk organik, khususnya yang diilhami motif-motif
bunga dan tanaman lain, dan juga sangat bergaya bentuk-bentuk lengkung yang
mengalir. Gaya Art Nouveau dan pendekatannya telah diterapkan dalam hal
arsitektur, melukis, furnitur, gelas, desain grafis, perhiasan, tembikar,
logam, dan tekstil dan patung. Hal ini sejalan dengan filosofi Art Nouveau
bahwa seni harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. (sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/Art_Nouveau).
b. The
Amsterdam School
Arsitektur
Amsterdam School, yang pada awalnya berkembang disekitar Amsterdam, berakar
pada sebuah aliran yang dinamakan sebagai Nieuwe Kunst di Belanda. Nieuwe Kunst
adalah versi Belanda dari aliran “Art Nouveau” yang masuk ke Belanda pada
peralihan abad 19 ke 20, (1892-1904). Agak berbeda dengan ‘Art Nouveau‘,
didalam dunia desain “Nieuwe Kunst” yang berkembang di Belanda, berpegang pada
dua hal yang pokok, pertama adalah ‘orisinalitas’ dan kedua adalah
‘spritualitas’, disamping rasionalitas yang membantu dalam validitas universal
dari bentuk yang diciptakan (de Wit dalam Handinoto, e-journal ilmiah Petra
Surabaya).
Aliran
Amsterdam Shool menafsirkan ‘orisinalitas’ ini sebagai sesuatu yang harus
dimiliki oleh setiap perancang, sehingga setiap desain yang dihasilkan, harus
merupakan ekspresi pribadi perancangnya. Sedangkan ‘spritualitas’ ditafsirkan
sebagai metode penciptaan yang didasarkan atas penalaran yang bisa menghasilkan
karya-karya seni (termasuk arsitektur), dengan memakai bahan dasar yang berasal
dari alam (bata, kayu, batu alam, tanah liat, dsb.nya). Bahan-bahan alam
tersebut dipasang dengan ketrampilan tangan yang tinggi sehingga memungkinkan
dibuatnya bermacam-macam ornamentasi yang indah. Tapi semuanya ini harus tetap
memperhatikan fungsi utamanya.
Pada
tahun 1915, ‘Nieuwe Kunst’ ini kemudian terpecah menjadi dua aliran. Pertama
yaitu aliran Amsterdam School dan yang kedua adalah De Stijl. Meskipun berasal
dari sumber yang sama dan mempunyai panutan yang sama (H.P. Berlage), tapi
ternyata kedua aliran arsitektur ini mempunyai perbedaan. Perbedaan tersebut
dapat dijelaskan bahwa Amsterdam School tidak pernah menerima mesin sebagai
alat penggandaan hasil karya-karyanya. Hal ini berbeda dengan De Stijl, yang
menganggap hasil karya dengan gaya tersebut sebagai nilai estetika publik atau
estetika universal, dan bisa menerima mesin sebagai alat pengganda
karya-karyanya.
Pengertian
lain mengenai Amsterdam School (Belanda: Amsterdamse School) adalah gaya
arsitektur yang muncul dari 1910 sampai sekitar 1930 di Belanda. Gaya ini
ditandai oleh konstruksi batu bata dan batu dengan penampilan bulat atau
organik, massa relatif tradisional, dan integrasi dari skema yang rumit pada
elemen bangunan luar dan dalam: batu dekoratif, seni kaca, besi tempa, menara
atau “tangga” jendela (dengan horizontal bar), dan diintegrasikan dengan
sculpture arsitektural. Tujuannya adalah untuk menciptakan pengalaman total
arsitektur, interior dan eksterior. (sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/Amsterdam_School) Di samping karakteristik diatas,
ciri-ciri lain dari aliran Amsterdam School oleh Handinoto (dalam e-journal
ilmiah Petra Surabaya), antara lain :
1) Bagi
Amsterdam School, karya orisinalitas merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh
setiap perancang, sehingga setiap desain yang dihasilkan, harus merupakan
ekspresi pribadi perancangnya. Nilai estetika dari karya-karya aliran Amsterdam
School bukan bersifat publik atau estetika universal. Itulah sebabnya Amsterdam
School tidak pernah menerima mesin sebagai alat penggandaan hasil karyanya.
2) Bagi
Amsterdam School mengekspresikan ide dari suatu gagasan lebih penting dibanding
suatu studi rasional atas kebutuhan perumahan ke arah pengembangan baru dari
jenis denah lantai dasar suatu bangunan.
3) Arsitek
dan desainer dari aliran Amsterdam School melihat bangunan sebagai “total work
of art”, mereka melihat bahwa desain interior harus mendapat perhatian yang
sama sebagai gagasan yang terpadu dalam arsitektur itu sendiri, dan hal
tersebut sama sekali bukan merupakan hasil kerja atau produk mekanis. Pada saat
yang sama, mereka berusaha untuk memadukan tampak luar dan bagian dalam
(interior) bangunan menjadi suatu kesatuan yang utuh.
4) Bangunan
dari aliran Amsterdam School biasanya dibuat dari susunan bata yang dikerjakan
dengan keahlian tangan yang tinggi dan bentuknya sangat plastis; ornamen
skulptural dan diferensiasi warna dari bahan-bahan asli (bata, batu alam, kayu)
memainkan peran penting dalam desainnya.
5) Walaupun
arsitek aliran Amsterdam School sering bekerja sama dengan pemahat dan ahli
kerajinan tangan lainnya, mereka menganggap arsitektur sebagai unsur yang
paling utama dan oleh karenanya harus sanggup mendikte semua seni yang lain.
(Sumber:http://fportfolio.petra.ac.id/
e-jurnal ilmiah Petra Surabaya).
c. Gaya
Arsitektur De Stijl
Gaya
De Stijl dikenal sebagai neoplasticism, adalah gerakan artistik Belanda yang
didirikan pada 1917. Dalam hal ini, neoplasticism sendiri dapat diartikan
sebagai seni plastik baru. Pendukung De Stijl berusaha untuk mengekspresikan
utopia baru ideal dari keharmonisan spiritual dan ketertiban. Mereka
menganjurkan abstraksi murni dan universalitas dengan pengurangan sampai ke
inti bentuk dan warna; mereka menyederhanakan komposisi visual ke arah vertikal
dan horisontal, dan hanya digunakan warna-warna primer bersamaan dengan warna
hitam dan putih.
Secara
umum, De Stijl mengusulkan kesederhanaan dan abstraksi pokok, baik dalam
arsitektur dan lukisan dengan hanya menggunakan garis lurus horisontal dan
vertikal dan bentuk-bentuk persegi panjang. Selanjutnya, dari segi warna adalah
terbatas pada warna utama, merah, kuning, dan biru, dan tiga nilai utama,
hitam, putih, dan abu-abu. Gaya ini menghindari keseimbangan simetri dan
mencapai keseimbangan estetis dengan menggunakan oposisi. (sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/De_Stijl)
3.
Perkembangan Arsitektur Setelah Tahun
1920
Akihary
(dalam Handinoto, 1996: 237-238) menggunakan istilah gaya bangunan sesudah
tahun 1920-an dengan nama Niuwe Bouwen yang merupakan penganut dari aliran
International Style. Seperti halnya arsitektur barat lain yang diimpor, maka
penerapannya disini selalu disesuaikan dengan iklim serta tingkat teknologi
setempat. Wujud umum dari dari penampilan arsitektur Niuwe Bouwen ini menurut
formalnya berwarna putih, atap datar, menggunakan gevel horizontal dan volume bangunan
yang berbentuk kubus.
Gaya
ini (Niuwe Bouwen/ New Building) adalah sebuah istilah untuk beberapa
arsitektur internasional dan perencanaan inovasi radikal dari periode 1915
hingga sekitar tahun 1960. Gaya ini dianggap sebagai pelopor dari International
Style. Istilah “Nieuwe Bouwen” ini diciptakan pada tahun dua puluhan dan
digunakan untuk arsitektur modern pada periode ini di Jerman, Belanda dan
Perancis. Arsitek Nieuwe Bouwen nasional dan regional menolak tradisi dan pamer
dan penampilan. Dia ingin yang baru, bersih, berdasarkan bahasa desain
sederhana, dan tanpa hiasan. Karakteristik Nieuwe Bouwen meliputi:
a. Transparansi,
ruang, cahaya dan udara. Hal ini dicapai melalui penggunaan bahan-bahan modern
dan metode konstruksi.
b. Simetris
dan pengulangan yaitu keseimbangan antara bagian-bagian yang tidak setara.
c. Penggunaan
warna bukan sebagai hiasan namun sebagai sarana ekspresi.
(blog.juned.maroz)
ABSTRAK
Tulisan ini merupakan kajian mengenai perubahan arsitektur sebagai
bagian dari perubahan kebudayaan pada masyarakat tertentu dengan
mengambil kasus Rumah Tradisional di Kota Lama Kudus. Arsitektur sebagai
artefak kebudayaan berperan penting dalam memberikan ciri kebudayaan
setempat, namun ketika kebudayaan masyarakat kemudian berkembang, apakah
artefaknya juga akan mengikuti perkembangan tersebut?. Tulisan ini
membahas tentang kebudayaan, kaitannya dengan arsitektur dan bagaimana
perubahannya pada masyarakat pesisir Jawa, khususnya Kudus.
Kebudayaan merupakan keseluruhan gagasan, karya serta hasil karya
manusia yang dicapai melalui ‘belajar’. Kebudayaan juga merupakan hasil
adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Sebagai hasil belajar dan
beradaptasi, kebudayaan akan terus berubah mengikuti perkembangan jaman.
Dari nilai-nilai kebudayaan yang berkembang tersebut terdapat
unsur-unsur yang yang berkembang secara cepat, adapula yang berkembang
secara lambat, menjadi tradisi. Kebudayaan tradisional meskipun
berkembang namun tetap mempertahankan karakter intinya yang diturunkan
antar generasi. Kebudayaan yang mentradisi menjadi karakter kuat suatu
masyarakat pada tempat tertentu, salah satunya akan terlihat pada
artefaknya, arsitektur tradisional.
Kebudayaan masyarakat Kudus merupakan bagian dari kebudayaan pesisiran
Jawa. Satu ragam kebudayaan Jawa yang berkembang di kota-kota
perdagangan di pantai utara Jawa.
Kudus dikenal sebagai masyarakat pedagang santri. Perkembangan
kebudayaan masyarakat Kudus dari sejarah berdirinya sampai saat ini
sangat dinamis dan menarik dipelajari. Sebagaimana kebudayaannya yang
khas, bentukan arsitektur permukiman masyarakat Kudus menunjukkan ciri
yang kuat, baik pada tata lingkungan permukiman, kelompok rumah sampai
pada elemen bangungan rumah tinggalnya. Ciri yang kuat pada arsitektur
tradisional rumah tinggal masyarakat Kudus tak pelak mencerminkan
Kebudayaannya yang khas pula. Dengan merujuk pada data sejarah kota
Kudus dan mencermati artefak yakni arsitektur rumah tradisional Kudus,
dicoba diinterpretasikan tahapan perkembangan arsitektur dalam perubahan
kebudayaan masyarakat Kudus.
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
ABSTRAK
Tulisan ini merupakan kajian mengenai perubahan arsitektur sebagai
bagian dari perubahan kebudayaan pada masyarakat tertentu dengan
mengambil kasus Rumah Tradisional di Kota Lama Kudus. Arsitektur sebagai
artefak kebudayaan berperan penting dalam memberikan ciri kebudayaan
setempat, namun ketika kebudayaan masyarakat kemudian berkembang, apakah
artefaknya juga akan mengikuti perkembangan tersebut?. Tulisan ini
membahas tentang kebudayaan, kaitannya dengan arsitektur dan bagaimana
perubahannya pada masyarakat pesisir Jawa, khususnya Kudus.
Kebudayaan merupakan keseluruhan gagasan, karya serta hasil karya
manusia yang dicapai melalui ‘belajar’. Kebudayaan juga merupakan hasil
adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Sebagai hasil belajar dan
beradaptasi, kebudayaan akan terus berubah mengikuti perkembangan jaman.
Dari nilai-nilai kebudayaan yang berkembang tersebut terdapat
unsur-unsur yang yang berkembang secara cepat, adapula yang berkembang
secara lambat, menjadi tradisi. Kebudayaan tradisional meskipun
berkembang namun tetap mempertahankan karakter intinya yang diturunkan
antar generasi. Kebudayaan yang mentradisi menjadi karakter kuat suatu
masyarakat pada tempat tertentu, salah satunya akan terlihat pada
artefaknya, arsitektur tradisional.
Kebudayaan masyarakat Kudus merupakan bagian dari kebudayaan pesisiran
Jawa. Satu ragam kebudayaan Jawa yang berkembang di kota-kota
perdagangan di pantai utara Jawa.
Kudus dikenal sebagai masyarakat pedagang santri. Perkembangan
kebudayaan masyarakat Kudus dari sejarah berdirinya sampai saat ini
sangat dinamis dan menarik dipelajari. Sebagaimana kebudayaannya yang
khas, bentukan arsitektur permukiman masyarakat Kudus menunjukkan ciri
yang kuat, baik pada tata lingkungan permukiman, kelompok rumah sampai
pada elemen bangungan rumah tinggalnya. Ciri yang kuat pada arsitektur
tradisional rumah tinggal masyarakat Kudus tak pelak mencerminkan
Kebudayaannya yang khas pula. Dengan merujuk pada data sejarah kota
Kudus dan mencermati artefak yakni arsitektur rumah tradisional Kudus,
dicoba diinterpretasikan tahapan perkembangan arsitektur dalam perubahan
kebudayaan masyarakat Kudus.Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
PENGARUH KEBUDAYAAN KOLONIAL BELANDA PADA ARSITEKTUR DI INDONESIA
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
ABSTRAK
Tulisan ini merupakan kajian mengenai perubahan arsitektur sebagai
bagian dari perubahan kebudayaan pada masyarakat tertentu dengan
mengambil kasus Rumah Tradisional di Kota Lama Kudus. Arsitektur sebagai
artefak kebudayaan berperan penting dalam memberikan ciri kebudayaan
setempat, namun ketika kebudayaan masyarakat kemudian berkembang, apakah
artefaknya juga akan mengikuti perkembangan tersebut?. Tulisan ini
membahas tentang kebudayaan, kaitannya dengan arsitektur dan bagaimana
perubahannya pada masyarakat pesisir Jawa, khususnya Kudus.
Kebudayaan merupakan keseluruhan gagasan, karya serta hasil karya
manusia yang dicapai melalui ‘belajar’. Kebudayaan juga merupakan hasil
adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Sebagai hasil belajar dan
beradaptasi, kebudayaan akan terus berubah mengikuti perkembangan jaman.
Dari nilai-nilai kebudayaan yang berkembang tersebut terdapat
unsur-unsur yang yang berkembang secara cepat, adapula yang berkembang
secara lambat, menjadi tradisi. Kebudayaan tradisional meskipun
berkembang namun tetap mempertahankan karakter intinya yang diturunkan
antar generasi. Kebudayaan yang mentradisi menjadi karakter kuat suatu
masyarakat pada tempat tertentu, salah satunya akan terlihat pada
artefaknya, arsitektur tradisional.
Kebudayaan masyarakat Kudus merupakan bagian dari kebudayaan pesisiran
Jawa. Satu ragam kebudayaan Jawa yang berkembang di kota-kota
perdagangan di pantai utara Jawa.
Kudus dikenal sebagai masyarakat pedagang santri. Perkembangan
kebudayaan masyarakat Kudus dari sejarah berdirinya sampai saat ini
sangat dinamis dan menarik dipelajari. Sebagaimana kebudayaannya yang
khas, bentukan arsitektur permukiman masyarakat Kudus menunjukkan ciri
yang kuat, baik pada tata lingkungan permukiman, kelompok rumah sampai
pada elemen bangungan rumah tinggalnya. Ciri yang kuat pada arsitektur
tradisional rumah tinggal masyarakat Kudus tak pelak mencerminkan
Kebudayaannya yang khas pula. Dengan merujuk pada data sejarah kota
Kudus dan mencermati artefak yakni arsitektur rumah tradisional Kudus,
dicoba diinterpretasikan tahapan perkembangan arsitektur dalam perubahan
kebudayaan masyarakat Kudus.
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar